Jakarta || Corongkita.com – Dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dapur-dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang didirikan Yayasan mitra BGN menjadi ujung tombak.
Namun di tengah manfaat besar yang dirasakan jutaan anak sekolah, muncul suara-suara sumbang yang menuduh yayasan mitra yang mengelola SPPG hanya mengejar keuntungan. Pandangan ini keliru dan jauh dari kenyataan di lapangan.
Faktanya, surplus dari satu unit SPPG sangat kecil — kalau tidak bisa dibilang nyaris tidak ada. Biaya bahan makanan yang terus naik, ongkos distribusi, gaji pegawai, serta pemeliharaan alat-alat dapur membuat ruang untuk sisa anggaran sangat tipis.
Dan jika dapur tersebut tidak mampu menghadapi tekanan tambahan seperti pemalakan oleh ormas di wilayah operasionalnya, bisa dipastikan tidak ada lagi yang tersisa — bukan keuntungan yang didapat, tapi justru beban tambahan.
Di tengah sistem pengelolaan yang sangat ketat, kemungkinan terjadinya korupsi dalam program ini juga sangat kecil, bahkan nyaris mustahil. Bagaimana bisa dikorupsi atau mencetak untung besar oleh mitra atau yayasan, jika di setiap SPPG ada tiga personil tetap yang merupakan representasi langsung dari Badan Gizi Nasional (BGN)?
Pertama, Kepala SPPG, yang diisi oleh alumni Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Mereka memimpin operasional dapur dari A sampai Z — mulai dari belanja, masak, hingga distribusi makanan ke anak-anak sekolah.
Kedua, Ahli Gizi, yang setiap hari menentukan dan menyetujui menu yang dimasak, agar sesuai standar gizi.
Ketiga, Akuntan, yang menghitung kebutuhan dan biaya secara rinci, serta memastikan efisiensi dana tanpa mengurangi kualitas makanan.
Semua uang negara yang digunakan pun melalui sistem rekening virtual account (VA) bersama, atas nama yayasan dan BGN, dengan dua tanda tangan untuk setiap transaksi: satu dari pihak yayasan, satu dari pihak BGN.
Dengan sistem seperti ini, mustahil satu pihak bisa menarik dana atau menggunakannya secara sepihak.
Karena itu, yayasan-yayasan yang ikut mendirikan dan menjalankan SPPG sejatinya sedang berlomba dalam kebaikan. Mereka tidak masuk program ini untuk mengeruk laba, tapi karena panggilan hati untuk berkontribusi bagi masa depan bangsa.
MBG bukan proyek bisnis, ini adalah proyek kemanusiaan. Dan lebih dari itu, skema kontrak tahunan — tanpa jaminan akan diperpanjang — membuat proyek ini lebih mirip sebuah inisiatif CSR kolektif nasional, di mana semua pihak ikut gotong royong demi satu cita-cita bersama: anak-anak Indonesia yang sehat, cerdas, karena makan makanan bergizi setiap hari.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa mulai mengubah cara pandang. Bahwa ketika ada yang ikut bekerja dalam proyek besar negara, apalagi proyek sosial, jangan buru-buru dicurigai.
Justru mereka layak diberi apresiasi. Sebab tidak banyak yang mau mengambil risiko besar, mengelola ribuan porsi makanan setiap hari dengan tekanan logistik, administratif, dan sosial yang tinggi — semata-mata karena ingin menjadi bagian dari solusi bangsa.
Gotong royong adalah kekuatan Indonesia. Jangan kita patahkan semangat mereka yang memilih terlibat demi kebaikan
(Sumber : Nanik S Deyang, Wakil Ketua Yayasan Gerakan Solidaritas Nasional)