Berita  

Jacob Ereste : Sudah 5 Abad Peranan Kesultanan Mataram Islam Di Nusantara-Indonesia Sampai Sekarang

Banten || Corongkita.com – Tradisi peringatan Syuro dalam budaya dan tradisi Jawa telah berlangsung sejak era Kesultanan Mataram Islam sekitar abad ke-16 Masehi, ketika Sultan Agung Haryokusumo berkuasa 1613-1645 Masehi, setidaknya sejak 300 tahun sebelum suku bangsa Nusantara disatukan dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sultan Agung menetapkan penanggalan versi Jawa dengan menggabungkan sistem kalender Islam (Hijriah) dengan sistem kalender Saka (Hindu-Buddha), hingga sejak itu tanggal 1 Syuro diperingati sebagai hari yang sangat sakral yang sarat makna spiritual, ritual pembersihan batin dan introspeksi diri. Karenanya banyak orang Jawa melakukan beragam macam tirakat, merenung, samadi, menyepi ke gunung bahkan ke hutan Alas Purwo, Alas Roban, Hutan Krendowahono, Alas Gumitit dan Hutan Damar serta Alas Ketonggo di Ngawi, Jawa Timur karena dianggap memiliki getaran dan vibrasi spiritual yang kuat dan terkesan mistis, sehingga sering dijadikan tempat pilihan melakukan tirakat, semedi mengheningkan diri atau berzikir sebagai rasa keprihatinan dan syukur atas segala nikmat dan berkah yang telah didapat dari Allah.

Bahkan di Alas Ketonggo juga diyakini adanya kerajaan gaib, dunia tak kasat mata, karena memang acap bisa menemukan kejadian atau peristiwa yang tidak masuk akal yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang telah mencapai tingkat tertentu dalam laku spiritual.

Kesultanan Mataram Islam bermula dari Kotagede, masuk wilayah Yogyakarta Hadiningrat sekarang. Awalnya didirikan oleh Panembahan Senopati atau yang dikenal juga sebagai Raden Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sekitar tahun 1586 Masehi, sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir dari kerajaan Pajang kepada Ki. Pemanahan.

Dari Kotagede inilah Kesultanan Mataram Islam tumbuh dan menjadi besar serta kuat sampai dipindah ke Kartasura, lalu Pleret hingga akhirnya ke Kartasura dan Surakarta. Jauh sebelumnya Kesultanan Pajang bermula diawali oleh Joko Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya setelah mendirikan Kesultanan Pajang pada tahun 1568 menggantikan Kerajaan Demak yang runtuh akibat konflik internal.

Amangkurat II sebagai penguasa Kerajaan Mataram Islam antara tahun 1677-1703 memindahkan pusat kerajaan ke Kartasura. Pemindahan pusat kerajaan ini akibat Istana Pleret hancur diserang Trunojoyo yang memberontak pada tahun 1677. Lalu Kesultanan Mataram Islam pindah lagi ke Surakarta dilakukan oleh Pakubuwono II pada tahun 1745 karena berbagai konflik dan pemberontakan termasuk Geger Pecinan.

Peristiwa yang dimaksud Geger Pecinan adalah pemberontakan besar yang terjadi pada tahun 1740-1743 di Jawa khususnya di Ibu Kota Kartasura saat Pakubuwono II memerintah Kesultanan Mataram Islam. Pada masa inilah Kadipaten Mangkunegara dibentuk oleh Raden Mas Said hingga menjabat dengan gelar Mangkunegaran I. Konflik yang memuncak pada 1755 membagi Kerajaan Mataram Islam — hasil perjanjian Giyanti — Kasunanan Surakarta dipimpin Pakubuwono III dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, yang sebelumnya bernama Raden Mas Sujana.

Raden Mas Sujana sendiri adalah putra dari Amangkurat IV, Raja Mataram Islam ke-12 tang berkuasa pada tahun 1719-1726, saat Kedaulatan Mataram Islam masih berada di Pleret. Dan dinasti Amangkurat berakhir pada tahun 1755 setelah perjanjian Giyanti yang membagi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kekuasaan Amangkurat III runtuh hingga membuat wilayahnya terpecah. Hingga lokasi dari pusat kerajaan berpindah ke Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang.

Setelah itu, pada tahun 1812, hasil dari perjanjian politik setelah Perang Jawa yang ditandai oleh perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajah, didirikanlah Kadipaten Paku Alam I yang bernama Natakusuma, putra Sri Sultan HB I, atas jasanya membantu Belanda dalam konflik Perang Diponegoro.

Kadipaten Paku Alam yang berada di dalam wilayah Yogyakarta mendapat hak otonomi dengan Paku Alam sebagai kepala adat dan simbol kultural. Meski begitu tetap terikat dengan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sampai sekarang. Jadi Kadipaten Paku Alam tetap menjadi bagian yang tidak terpisah dari Kesultanan Yogyakarta. Seperti halnya Kadipaten Mangkunegaran yang terlebih dahulu didirikan pada tahun 1757 dengan adanya perjanjian Salatiga antara Pangeran Raden Mas Said — Mangkunegaran I — dengan VOC dan Kasunanan Surakarta.

Raden Mas Said sendiri adalah bangsawan Mataram yang lama melakukan pemberontakan terhadap Kasunanan Surakarta saat dipegang oleh Sunan Pakubuwono III pada tahun 1749 hingga tahun 1788 Masehi. Jadi cukup jelas, bila Kesultanan Mataram Islam masih berlanjut sampai sekarang. Kendati warna dan corak sinkretisme cukup kuat menjadi bagian dalam budaya dan tradisi masyarakat kraton Yogyakarta maupun lingkungan Keraton Surakarta atau Solo.

Sultan Hamengku X bergelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Sunan Paku Buwono XIII bergelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayyidina
Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping XIII. Sedangkan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara X bergelar “Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran Senopati Ing Ngalaga Jumeneng Kaping Sedasa. Dan untuk Paku Alam bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidina Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa.

Artinya, sudah memasuki abad ke-5 Kesultanan Mataram Islam berperan di Nusantara hingga era Indonesia Merdeka sekarang. Demikian pula sekiranya Kesultanan Aceh yang berjaya pada masa Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 hingga 1636 hingga memiliki kekuatan politik, ekonomi dan keagamaan yang tangguh. Termasuk Kesultanan Demak yang dibangun pada abad ke-15, seperti Kesultanan Banten yang berjaya pada abad je-16 hingga menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam semakin meluas. Kesultanan Cirebon pada abad ke-15. Kesultanan Ternate dan Tidore pada abad ke-15 menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Atau Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-16, dan Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan pada abad ke-16.

Banten, 27 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *