Berita  

Jacob Ereste : Laku Ugahari Kaum Sufi Yang Mengalir Seperti Air Menuju Muara Dalam Alur Spiritual Menggapai Kiblat di Langit

Banten || Corongkita.com – Dalam konsepsi Islam pandangan hidup yang ada berpegang pada Hablum minallah dan hablum minannas. Konsepsi ini menunjukkan adanya hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan antar
sesama manusia. Konsep ini saling berkaitan dan perlu diseimbangkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya keterkaitan manusia dengan alam dan lingkungan sekitarnya — sebagai bagian dari ciptaan Tuhan — yang harus dihormati dan dijaga agar keseimbangan alam tetap dapat terjaga dan lestari untuk memberi manfaat yang tiada terkira bagi manusia.

Penghormatan serta upaya manusia untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan merupakan wujud nyata dari sikap Ketuhanan manusia yang taat dan patuh pemahaman pada makna rahmatan lil alamin bagi seluruh umat manusia yang percaya terhadap cinta dan kasih Allah yang Maha Pemurah, sehingga sangat memuliakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dibanding dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, termasuk Malaikat.

Oleh karena itu, Syaitan dan Iblis — sebagai penggoda dan pendorong manusia untuk berbuat jahat — sesungguhnya dapat diatasi oleh manusia yang taat dan patuh mengikuti ajaran dan tuntunan dari langit — untuk tidak tergoda dan dijerumuskan oleh Syaitan dan Iblis yang memang diberi tugas untuk menguji keimanan manusia terhadap semua tuntunan dan ajaran Tuhan yang dibawa oleh Nabi untuk menjadi bekal hidup yang teguh melakukan tuntunan dan ajaran yang dibawa oleh agama untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia sampai di akhirat.

Hakekat dari kehidupan kelak di akherat itu hanya mampu dipahami dengan keyakinan melalui kecerdasan spiritual yang tidak mungkin dapat dicapai oleh akal. Karena hakekat dari spiritualitas itu sendiri memang gaib — hanta bisa diyakini dan dipercaya — tanpa perlu hirau dengan kesangsian akal yang hanya terbatas dalam wujud material. Selebihnya, abstraksi pemikiran yang tetap terbelenggu pada pembuktian yang nyata dan harus dapat dicerna oleh akal.

Kesadaran manusia yang ugahari sungguh sangat memahami adanya keterbatasan yang tidak mungkin melampaui kekuasaan Tuhan. Itulah sebabnya rasa rendah hati manusia yang tawadhu itu tidak mau mendahului kekuasan Tuhan seperti yang diekspresikan melalui ungkapan insyaallah. Karena sesuatu yang pasti itu sesungguhnya hanya milik Allah semata. Dan manusia hanya bisa berdo’a dan berupaya, selebihnya ketentuan terap berada dalam kekuasaan Tuhan, seperti hidup dan matinya manusia bila mematuhi sunatullah.

Dalam konteks serupa inilah laku spiritual perlu terus dipertangkas, agar banyak hal yang tidak terlihat dapat diketahui makna dan hakekatnya untuk keselamatan dan ketenteraman yang membahagiakan hidup dan kehidupan dalam kondisi yang paling sederhana sekali pun. Agaknya, dalam keadaan serupa inilah umumnya kaum sufi lebih suka dan tampak lebih nyaman tampil dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Karena menurut mereka, tampilan yang sederhana itu — sebagai pelengkap dari sifat dan sikap ugahari — akan ikut menjaga perilaku berkiblat ke langit. Meski dalam bentuk simbolik Ka’bah di Mekkah adalah kiblat bagi umat Islam di bumi.

Lain lagi pengakuan Sri Eko Sriyanto Galgendu, seorang Pemimpin Spiritual Nusantara yang dipercaya oleh para pemuka agama di Indonesia, bahwa semua apa yang hendak dia lakukan dasarnya adalah dari bisikan batin yang acap disebut banyak orang sebagai wangsit. Sehingga, asisten pribadinya yang bernama Wowok Pranowo berujar dalam segala bentuk usaha ekonomi yang dilakukan Sri Eko Sriyanto Galgendu yang terbilang sukses dalam membangun usaha Rumah Makan hingga lima gerai ini sejak 12 tahun silam, lebih terkesan menerapkan “management wangsit” kata Wowok Prastowo pada beberapa tahun silam.

Kemampuan yang tidak masuk akal ini, acap dibuktikan pula oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu yang memiliki kemampuan untuk membaca banyak hal yang tidak terlihat. Seperti bencana yang terjadi di bumi — bisa saja karena angin, tapi juga bisa karena bumi itu sendiri yang bergerak — ngolet — atau sempal seperti melakukan oposisi dengan bagian bumi yang lain. Begitulah gerak spiritual yang sulit dipahami oleh akal pikiran, tapi realitasnya terjadi, seperti hujan yang tidak bisa diduga sebelumnya, apalagi hendak dikendalikan semacam air sungai yang cuma bisa diarahkan saja, tanpa bisa dihentikan arusnya yang akan terus menuju muara, entah sampai kapan akan usai.

Banten, 4 Desember 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *