Jakarta || Corongkita.com – Pengamat Perpajakan CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis), Fajry Akbar, menyarankan, rencana penurunan tarif PPN perlu dikaji mendalam.
Dalam kesempatannya ia menyebutkan bahwa penurunan pajak tidak serta-merta dapat menjaga daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi.
Ia juga menjelaskan, penyebab utama lemahnya daya beli masyarakat bukan berasal dari kebijakan fiskal. Melainkan, dari tingginya tingkat ketidakpastian usaha di masyarakat.
“Masalah utamanya ada pada rendahnya keyakinan pelaku usaha untuk ekspansi. Akibat ketidakpastian (gejolak ekonomi) yang tinggi,” ujarnya, dilansir dari laman RRI, Sabtu (18/10/25).
Selanjutnya, ia menegaskan, perbaikan daya beli seharusnya dilakukan dengan menciptakan kepastian ekonomi dan iklim usaha yang kondusif. Menurutnya, pelaku usaha akan lebih percaya diri untuk berinvestasi bila kebijakan pemerintah tidak berubah-ubah secara mendadak.
“Ketika pelaku usaha yakin dengan arah kebijakan, maka investasi dan lapangan kerja akan tumbuh lebih cepat. Tapi berbeda jika kebijakan pemerintah selalu berubah,” jelasnya.
Fajry Akbar, menilai, penurunan tarif PPN justru berpotensi mengurangi penerimaan negara dalam jumlah besar. Pemerintah seharusnya berhati-hati, karena defisit fiskal bisa meningkat bila penerimaan berkurang signifikan.
“Jika tarif PPN turun 1 persen saja, potensi kehilangan penerimaan bisa mencapai seratus triliun Rupiah. Maka itu, perlu kehati-hatian mendalam dalam menentukan kebijakan” jelasnya.
Ia mengingatkan, kontribusi PPN dan PPNBM dalam APBN mencapai sekitar 42 persen dari total penerimaan. Bila kebijakan ini dijalankan tanpa kompensasi pengurangan belanja, risiko fiskal akan semakin besar.
“Dalam kondisi belanja negara yang terus meningkat, terutama untuk program sosial. Potensi defisit makin sulit dikendalikan,” jelasnya.
Diakhir kesempatan, ia menyoroti, pentingnya konsistensi kebijakan pemerintah agar iklim ekonomi tetap stabil dan kepercayaan pelaku usaha terjaga. Karena, perubahan kebijakan yang terlalu sering justru menciptakan ketidakpastian baru bagi dunia usaha.
“Yang dibutuhkan sekarang bukan penurunan pajak. Tapi kestabilan regulasi dan kejelasan arah kebijakan ekonomi,” jelasnya.
(Sumber : TBNews)