Surabaya || Corongkita.com – Pada tanggal 30 September 2025 BEM Fisipol mengadakan proses refleksi September hitam bersama dengan sembilan prodi yang ada di Fisipol. Dalam serangkaian prosesi tersebut mahasiswa Fisipol menyatakan sikap untuk menolak segala bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara. Negara harus menjamin setiap hak warga negaranya dan memang hak setiap warga negara telah di jamin dalam UUD 1945 Alinea keempat. Lebih dari itu, terdapat juga peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat di muka umum dalam UU No. 9 Tahun 1998 dan UUD 1945 pasal 28E ayat 3 mengenai hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sehingga, ketika kami sebagai mahasiswa mengacu pada tiga peraturan tersebut kami menuntut aparat penegak hukum untuk memberikan hak kami selaku warga negara dengan menghentikan segala bentuk represifitas dan brutalitas aparat.
Dalam serangkaian September hitam yang diadakan oleh mahasiswa Fisipol terdapat penampilan teatrikal yang dilakukan oleh mahasiswa Fisipol seperti, teater drama, orasi, dan musikalisasi puisi. Dalam pertunjukannya mayoritas dari mereka menegaskan tentang peristiwa kelam yang terjadi pada masa lampau dan mengecam bahwa hilangnya satu nyawa tidak bisa di maafkan begitu saja. Sangat jelas dan gamblang kita melihat berbagai peristiwa pelanggaran HAM terjadi pada bulan September seperti, peristiwa tanjung priok, semanggi, G30SPKI, hingga tragedi kanjuruhan di awal bulan oktober tahun 2022 lalu. Dalam kesempatan ini Pandu Pradana selaku Wakil Ketua BEM Fisipol, mengatakan bahwa September hitam bukan hanya ajang memperingati namun cenderung sebagai bahan evaluasi. Refleksifitas itu perlu kita lakukan sebagai generasi muda untuk memberikan alarm darurat kepada pemerintah untuk segera menuntaskan setiap kasus pelanggaran HAM di negeri ini. Dalam sambutannya Pandu menambahkan tentang peran anak muda yang peka dan mengambil inisiatif dalam meredakan rasa sakit yang sudah lama di alami oleh ibu pertiwi, tutupnya.
Bagi pemerintah, mengubah kondisi saat ini rasanya sangat mudah karena mereka adalah pemangku kebijakan. Namun hari ini rasa-rasanya mengandalkan pemerintah bukan sebuah solusi. Sehingga demikian muncul narasi besar yakni, jika bukan kita siapa lagi, ika bukan sekarang kapan lagi.